DEMOKRASI
Demokrasi memungkinkan rakyat menentukan pemimpinnya melalui
pemilihan umum.
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang
kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi
langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).Istilah ini berasal
dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang
dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos)
"kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan
abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul
revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali
oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang
menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham
Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai
"pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini
berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan
rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur
kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan
suara terbanyak.
Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan
sebagai respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin menyuarakan pendapat
mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui
tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.
Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal
terbentuknya belum semua orang dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan
hanya laki-laki saja. Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan penduduk
yang orang tuanya bukan orang Athena tidak memiliki hak untuk itu.
Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan
pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan
anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur,
landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua
orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan
untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan. Masalah keadilan
menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri
jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta
pertolongan untuk mencapai hal tersebut.
Pengertian Demokrasi Menurut
Para Ahli
Abraham Lincoln
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat.
Charles Costello
Demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri
dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk
melindungi hak-hak perorangan warga negara.
John L. Esposito
Demokrasi pada dasarnya kekuasaan adalah dari dan untuk
rakyat. Oleh karenanya, semuanya berhak untuk berpartisipasi, baik terlibat
aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu,
tentu saja lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas antara unsur
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Hans Kelsen
Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat.
Yang melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih.
Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan
diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara.
Sidney Hook
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana
keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak
didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat
dewasa.
Rifhi Siddiq
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang
kedaulatannya dipegang oleh rakyat bertujuan mensejahterakan rakyat dan hak dan
kewajiban rakyatnya diakui secara hukum ketatanegaraan.
C.F. Strong
Demokrasi adalah Suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas
anggota dewan dari masyarakat ikut serta dalam politik atas dasar sistem
perwakilan yang menjamin pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan
tindakan-tindakannya pada mayoritas tersebut.
Hannry B. Mayo
Kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan
yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
di mana terjadi kebebasan politik.
Merriem
Demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan oleh
rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi
tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung
melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan
pemilu bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk
mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese
berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.
Samuel Huntington
Demokrasi ada jika para pembuat keputusan kolektif yang
paling kuat dalam sebuah sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil,
jujur dan berkala dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk
memperoleh suara dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat memberikan suara.
Sejarah Demokrasi
Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani,
bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika
itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa negara kota yang independen. Di setiap
negara kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu
permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk
sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani
kala itu terdiri dari 1,500 negara kota (poleis) yang kecil dan independen.
Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang
oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat Athena,
negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu
demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah
Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang
ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak
berhasil membuat perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun
kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam demokrasi tersebut,
tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili
dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari
sekitar 150,000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat
dan menyuarakan pendapat mereka.
Demokrasi ini kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi pada 510
SM hingga 27 SM. Sistem demokrasi yang dipakai adalah demokrasi perwakilan
dimana terdapat beberapa perwakilan dari bangsawan di Senat dan perwakilan dari
rakyat biasa di Majelis.
Bentuk-Bentuk Demokrasi
Secara umum terdapat dua bentuk demokrasi yaitu demokrasi
langsung dan demokrasi perwakilan.
Demokrasi Langsung
Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk demokrasi dimana
setiap rakyat memberikan suara atau pendapat dalam menentukan suatu keputusan. Dalam
sistem ini, setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu
kebijakan sehingga mereka memiliki pengaruh langsung terhadap keadaan politik
yang terjadi. Sistem demokrasi langsung digunakan pada masa awal terbentuknya
demokrasi di Athena dimana ketika terdapat suatu permasalahan yang harus
diselesaikan, seluruh rakyat berkumpul untuk membahasnya. Di era modern sistem
ini menjadi tidak praktis karena umumnya populasi suatu negara cukup besar dan
mengumpulkan seluruh rakyat dalam satu forum merupakan hal yang sulit. Selain
itu, sistem ini menuntut partisipasi yang tinggi dari rakyat sedangkan rakyat
modern cenderung tidak memiliki waktu untuk mempelajari semua permasalahan
politik negara.
Demokrasi Perwakilan
Dalam demokrasi perwakilan, seluruh rakyat memilih
perwakilan melalui pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil
keputusan bagi mereka.
Ciri-Ciri Demokrasi
Demokrasi yang kuat bersumber pada “kehendak rakyat” dan
bertujuan mencapai kebaikan dan kemaslahatan bersama. Untuk itu, demokrasi
selalu berkaitan dengan persoalan perwakilan kehendak rakyat. Sehingga dalam
perkembangannya ada yang menggantikan istilah demokratis dengan republiken atau
partisipatori untuk menekankan peranan warganegara dalam proses pembuatan
keputusan dan untuk menyarankan agar peranan tersebut diperkuat. Dan dalam
perkembangannya, untuk lebih memperkuat peranan warga Negara dalam proses pengambilan
keputusan dalam bidang lain, maka timbul istilah demokrasi ekonomi, demokrasi
kebudayaan dan bahkan demokrasi menjadi sikap hidup, sehingga mencakup segala
bidang kehidupan.
Robert Dahl menyebutkan bahwa demokrasi adalah sikap tanggap
pemerintah secara terus menerus terhadap preferensi atau keinginan warga
negaranya. Tatanan politik seperti itu dapat digambarkan dengan dua dimensi
politik yaitu:
seberapa tinggi kontestasi, kompetisi atau oposisi yang
dimungkinkan
seberapa banyak warga Negara yang memperoleh kesempatan
berpartisipasi dalam kompetisi politik itu
Sehingga dalam system politik demokrasi dimungkinkan adanya
perbedaan pendapat, persaingan, pertentangan di antara individu atau kelompok
dan atau pemerintah bahkan antar lembaga-lembaga pemerintah. Untuk itu
diperlukan mekanisme dan prosedur yang mampu menyelesaikan konflik jika terjadi
guna mencapai konsensus.
Ciri-ciri Demokrasi
Bedasarkan political performance Bingham Powel Jr.
menegaskan ciri-ciri demokrasi sebagai berikut:
Legitimasi pemerintah didasarkan pada klaim bahwa pemerintah
tersebut mewakili keinginan rakyatnya.
Pengaturan yang mengorganisasikan perundingan untuk
memperoleh legitimasi didasarkan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Pada
prakteknya minimal terdapat dua partai politik.
Sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses
pemilihan, baik sebagai calon maupun sebagai pemilih
pemilihan secara rahasia dan tanpa dipaksa
adanya hak-hak dasar seperti kebebasan berbicara, berkumpul,
berorganisasi dan kebebasan pers.
MACAM-MACAM DEMOKRASI
Secara resmi, demokrasi sudah dijadikan dasar bagi
kebanyakan pemerintahan negara-negara di dunia. Namun dalam perwujudannya,
terdapat bermacam-macam jenis demokrasi menurut kondisi dalam negeri negara
yang bersangkutan. Jenis-jenis demokrasi yang ada di dunia saat ini adalah:
1. Demokrasi Presidentil.
Demokrasi presidetil disebut juga sebagai demokrasi
presidensial. Dalam demokrasi presidensial, orang-orang yang menjalankan
pemerintahan (para menteri dalam susunan kabinet presidensial) bertanggungjawab
kepada presiden karena yang memilih menteri-menteri itu adalah presiden.
Negara yang menganut sistem demokrasi presidensial antara
lain negara Pakistan pada masa pemerintahan Presiden Ayub Khan tahun 1960.
Negara Indonesia sejak tahun 1966 hingga sekarang juga menjalankan demokrasi
presidentil.
2. Demokrasi Parlementer.
Dalam demokrasi parlementer, orang-orang yang menjalankan
pemerintahan (eksekutif) bertanggungjawab kepada parlemen dan kekuasaan
legislatif (DPR) berada di atas kekuasaan eksekutif. Para menteri kabinet
bertanggungjawab kepada badan legislatif. Kabinet harus mendapat kepercayaan
dari DPR dan DPR dapat memberikan mosi tidak percaya kepada kabinet.
Negara yang menjalankan demokrasi parlementer dalam
pemerintahan mereka antara lain Belgia, Belanda, Perancis dan Indonesia pada
masa Demokrasi Liberal (tahun 1950 sampai 1959).
3. Demokrasi dengan sistem
pemisahan kekuasaan.
Sistem demokrasi dengan pemisahan kekuasaan hampir
sepenuhnya diterapkan di negara Amerika Serikat. Kekuasaan legislatif dipegang
oleh Kongres, kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden, sedangkan kekuasaan
yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung.
Masing-masing badan berdiri sendiri dan terpisah satu sama
lain. Kekuasaan yang diberikan pada setiap badan dibatasi untuk mencegah
penumpukan kekuasaan. Antar lembaga negara bekerja dengan saling mengawasi
sehingga terjadi keseimbangan diantara lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
4. Demokasi melalui referendum
dan inisiatif rakyat.
Referendum adalah pemungutan suara rakyat mengenai suatu
rencana pemberlakukan undang-undang. Sistem demokrasi melalui referendum ini
berlaku di negara Swiss. Setiap wilayah administratif di Swiss disebut sebagai
kanton.
Kanton-kanton tersebut berbentuk republik yang masing-masing
kanton memiliki kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam praktek
demokrasi di negara Swiss, tugas legislatif berada di bawah pengawasan rakyat.
Pengawasan oleh rakyat dilakukan melalui referendum. Referendum dibagi menjadi
dua, yaitu referendum obligator dan referendum fakultatif.
Referendum obligator atau referendum wajib adalah pemungutan
suara rakyat yang wajib dilakukan untuk suatu rencana undang-undang dasar
negara bagian atau undang-undang lain yang dianggap penting. Sedangkan
referendum fakultatif adalah pemungutan suara rakyat mengenai rencana
undang-undang yang tidak diharuskan, kecuali jika pada masa tertentu setelah
rencana undang-undang itu diumumkan sejumlah rakyat meminta diadakan referendum
kembali.
KEKUASAAN PEMERINTAHAN
Negara merupakan organisasi kekuasaan politik yang mengatur
hampir setiap segi kehidupan warganya. Negara meewujudkan kekuasaannya melalui
berbagai instrumen peraturan, yang bersifat mengikat dan memaksa. Meskipun
kekuasaan negara sangat luas, akan tetapi perlu adanya batas-batas kekuasaan
negara. Batas-batas itu juga diperlukan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan
negara terhadap rakyatnya. Untuk itulah diperlukan konstitusi, yang berisi
pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga
negara.
Mengingat luasnya kekuasaan negara, maka perlu adanya sistem
pemisahan kekuasaan. Hal itu agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan di satu
tangan.
Menurut Montesquieu, kekuasaan negara harus dipisahkan
menjadi tiga macam fungsi kekuasaan, meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Kekuasaan pemerintahan negara dalam arti luas meliputi ketiga
macam kekuasaan itu. Dalam arti sempit, kekuasaan pemerintahan berarti
kekuasaan eksekutif.
Pemegang kekuasaan legislatif atau kekuasan untuk membuat
undang-undang menurut UUD 1945 melibatkan Presiden dan DPR. Setelah dilakukan
amanden terhadap UUD 1945, terjadi pergeseran peranan dalam pembuatan
undang-undang. Sebelumnya, Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang
dengan persetujuan DPR. Setelah amandemen, DPR memegang kekuasaan membentuk
undang-undang. Rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.
Pemegang kekuasaan eksekutif atau kekuasaan untuk
melaksanakan undang-undang menurut UUD 1945 berada di tangan Presiden. Inilah
pengertian kekuasaan pemerintahan dalam arti sempit. Presiden adalah kepala
pemerintahan, yang dalam tugasnya dibantu oleh menteri-menteri. Presiden
bersama para menteri disebut kabinet.
Pemegang kekuasaan yudikatif atau kekuasaan untuk mempertahankan
undang-undang berada di tangan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya
dalam lingkungan peradilan meliputi peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan baru yang dibentuk sebagai
hasil amandemen ketiga terhadap UUD 1945.
DEMOKRASI DI INDONESIA
Demokrasi totaliter
Demokrasi totaliter adalah sebuah istilah yang diperkenalkan
oleh sejarahwan Israel, J.L. Talmon untuk merujuk kepada suatu sistem
pemerintahan di mana wakil rakyat yang terpilih secara sah mempertahankan
kesatuan negara kebangsaan yang warga negaranya, meskipun memiliki hak untuk
memilih, tidak banyak atau bahkan sama sekali tidak memiliki partisipasi dalam
proses pengambilan keputusan pemerintah. Ungkapan ini sebelumnya telah
digunakan oleh Bertrand de Jouvenel dan E.H. Carr.
Liberalisme
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan
filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan
adalah nilai politik yang utama.[1]
Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat
yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham
liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.
Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar
yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu
sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap
pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi
dasar bagi tumbuhnya kapitalisme.
Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam
sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan
mayoritas. Bandingkan Pandangan-pandangan liberalisme dengan paham agama seringkali
berbenturan karena liberalisme menghendaki penisbian dari semua tata nilai,
bahkan dari agama sekalipun. meski dalam prakteknya berbeda-beda di setiap
negara, tetapi secara umum liberalisme menganggap agama adalah pengekangan
terhadap potensi akal manusia
“‘Liberalisme’ didefinisikan sebagai suatu etika sosial yang
menganjurkan kebebasan dan kesetaraan secara umum.” – Coady, C. A. J.
Distributive Justice, A Companion to Contemporary Political Philosophy, editors
Goodin, Robert E. and Pettit, Philip. Blackwell Publishing, 1995, p.440. B:
“Kebebasan itu sendiri bukanlah sarana untuk mencapai tujuan politik yang lebih
tinggi. Ia sendiri adalah tujuan politik yang tertinggi.”- Lord Acton
Oxford Manifesto dari Liberal International: “Hak-hak dan
kondisi ini hanya dapat diperoleh melalui demokrasi yang sejati. Demokrasi
sejati tidak terpisahkan dari kebebasan politik dan didasarkan pada persetujuan
yang dilakukan dengan sadar, bebas, dan yang diketahui benar (enlightened) dari
kelompok mayoritas, yang diungkapkan melalui surat suara yang bebas dan
rahasia, dengan menghargai kebebasan dan pandangan-pandangan kaum minoritas.”
“‘Liberalisme’ didefinisikan sebagai suatu etika sosial yang
menganjurkan kebebasan dan kesetaraan secara umum.” – Coady, C. A. J. Distributive
Justice, A Companion to Contemporary Political Philosophy, editors Goodin,
Robert E. and Pettit, Philip. Blackwell Publishing, 1995, p.440. B: “Kebebasan
itu sendiri bukanlah sarana untuk mencapai tujuan politik yang lebih tinggi. Ia
sendiri adalah tujuan politik yang tertinggi.”- Lord Acton dari Liberal
International : “Hak-hak dan kondisi ini hanya dapat diperoleh melalui
demokrasi yang sejati. Demokrasi sejati tidak terpisahkan dari kebebasan
politik dan didasarkan pada persetujuan yang dilakukan dengan sadar, bebas, dan
yang diketahui benar ( enlightened) dari kelompok mayoritas, yang diungkapkan
melalui surat suara yang bebas dan rahasia, dengan menghargai kebebasan dan
pandangan-pandangan kaum minoritas
Meritokrasi
Berasal dari kata merit atau manfaat, meritokrasi menunjuk
suatu bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka
yang berprestasi atau berkemampuan. Kerap dianggap sebagai suatu bentuk sistem
masyarakat yang sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang
berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin, tetapi tetap dikritik sebagai bentuk
ketidak adilan yang kurang memberi tempat bagi mereka yang kurang memiliki
kemampuan untuk tampil memimpin. Dalam pengertian khusus meritokrasi kerap di
pakai menentang birokrasi yang sarat KKN terutama pada aspek nepotisme.
Plutokrasi
Plutokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang
mendasarkan suatu kekuasaan atas dasar kekayaan yang mereka miliki. Mengambil
kata dari bahasa Yunani, Ploutos yang berarti kekayaan dan Kratos yang berarti
kekuasaan. Riwayat keterlibatan kaum hartawan dalam politik kekuasaan memang
berawal di kota Yunani, untuk kemudian diikuti di kawasan Genova, Italia.
Teokrasi
Teokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana agama atau iman
memegang peran utama. Kata “teokrasi” berasal dari bahasa Yunani θεοκρατία
(theokratia). θεος (theos) artinya “tuhan” dan κρατειν (kratein) “memerintah”.
Teokrasi artinya “pemerintahan oleh tuhan”.
Demokrasi Kesukuan
Demokrasi Kesukuan adalah sebuah sistem atau bentuk pemerintahan
setempat yang diselenggarakan di dalam batas-batas: wilayah ulayat, jangkauan
hukum adat, dan sistem kepemimpinan serta pola kepemimpinan suku dan segala
perangkat kesukuannya (tribal properties). Demokrasi Kesukuan juga dapat
disebut sebagai demokrasi yang asli dan alamiah alamiah.
Demokrasi Kesukuan, menurut penggagasnya, Sem Karoba, adalah
sebuah demokrasi yang tidak mengenal partai politik, karena partai politik pada
dasarnya dibentuk untuk membangun aliansi, afiliasi dan aosisiasi satu orang
dengan yang lainnya. Masyarakat Adat di dalam suku-suku sudah memiliki aliansi,
afiliasi dan asosiasi, maka demokrasi yang dibangun berdasarkan suku, dibangun
atas dasar kondisi real dimaksud. Menurut Sem Karoba, Demokrasi Kesukuan
merupakan demokrasi yang berlaku di dalam suku-suku
Demokrasi di Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar
1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam
mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana
MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki
seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme
perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi
singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas
di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin
sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi
Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan
Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika
pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi
Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi
Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.
Diskursus demokrasi di Indonesia tak dapat dipungkiri, telah
melewati perjalanan sejarah yang demikian panjangnya. Berbagai ide dan cara
telah coba dilontarkan dan dilakukan guna memenuhi tuntutan demokratisasi di
negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi tuntutan mewujudkan pemerintahan
yang demokratis tersebut misalnya dapat dilihat dari hadirnya rumusan model
demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia, yakni Orde Lama dan
Orde Baru. Di zaman pemerintahan Soekarno dikenal yang dinamakan model Demokrasi
Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang
dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu
pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal
pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang
otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya. Dipasungnya demokrasi
di dua zaman pemerintahan tersebut akhirnya membuat rakyat Indonesia berusaha
melakukan reformasi sistem politik di Indonesia pada tahun 1997. Reformasi yang
diperjuangkan oleh berbagai pihak di Indonesia akhirnya berhasil menumbangkan
rezim Orde Baru yang otoriter di tahun 1998. Pasca kejadian tersebut, perubahan
mendasar di berbagai bidang berhasil dilakukan sebagai dasar untuk membangun
pemerintahan yang solid dan demokratis. Namun, hingga hampir sepuluh tahun
perubahan politik pasca reformasi 1997-1998 di Indonesia, transisi menuju
pemerintahan yang demokratis masih belum dapat menghasilkan sebuah pemerintahan
yang profesional, efektif, efisien, dan kredibel. Demokrasi yang terbentuk
sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist hanya menghasilkan Demokrasi Kaum
Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang
kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Tulisan ini berusaha menguraikan
lebih lanjut bagaimana proses transisi menuju konsolidasi demokrasi di
Indonesia belum menuju kepada proses yang baik, karena masih mencerminkan suatu
pragmatisme politik. Selain itu di akhir, penulis akan berupaya menjawab
pilihan demokrasi yang bagaimana yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Munculnya Kekuatan Politik Baru yang Pragmatis Pasca
jatuhnya Soeharto pada 1998 lewat perjuangan yang panjang oleh mahasiswa,
rakyat dan politisi, kondisi politik yang dihasilkan tidak mengarah ke
perbaikan yang signifikan. Memang secara nyata kita bisa melihat perubahan yang
sangat besar, dari rezim yang otoriter menjadi era penuh keterbukaan. Amandemen
UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik saat ini, penghapusan dwi fungsi
ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang, dan banyak hasil positif lain.
Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak membawa perbaikan kondisi
ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat.
Perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di masyarakat tidak
kunjung berubah dikarenakan adanya kalangan oposisi elit yang menguasai
berbagai sektor negara. Mereka beradaptasi dengan sistem yang korup dan
kemudian larut di dalamnya. Sementara itu, hampir tidak ada satu pun elit lama
berhaluan reformis yang berhasil memegang posisi-posisi kunci untuk mengambil
inisiatif. Perubahan politik di Indonesia, hanya menghasilkan kembalinya
kekuatan Orde Baru yang berhasil berkonsolidasi dalam waktu singkat, dan
munculnya kekuatan politik baru yang pragmatis. Infiltrasi sikap yang terjadi
pada kekuatan baru adalah karena mereka terpengaruh sistem yang memang
diciptakan untuk dapat terjadinya korupsi dengan mudah.
Selain hal tersebut, kurang memadainya pendidikan politik
yang diberikan kepada masyarakat, menyebabkan belum munculnya
artikulator-artikulator politik baru yang dapat mempengaruhi sirkulasi elit
politik Indonesia. Gerakan mahasiswa, kalangan organisasi non-pemerintah, dan
kelas menengah politik yang ”mengambang” lainnya terfragmentasi. Mereka gagal
membangun aliansi yang efektif dengan sektor-sektor lain di kelas menengah.
Kelas menengah itu sebagian besar masih merupakan lapisan sosial yang berwatak
anti-politik produk Orde Baru. Dengan demikian, perlawanan para reformis
akhirnya sama sekali tidak berfungsi di tengah-tengah situasi ketika hampir
seluruh elit politik merampas demokrasi. Lebih lanjut, gerakan mahasiswa yang
pada awal reformasi 1997-1998 sangatlah kuat, kini sepertinya sudah kehilangan
roh perjuangan melawan pemerintahan. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh
berbedanya situasi politik, tetapi juga tingkat apatisme yang tinggi yang
disebabkan oleh depolitisasi lewat berbagai kebijakan di bidang pendidikan.
Mulai dari mahalnya uang kuliah yang menyebabkan mahasiswa dituntut untuk
segera lulus. Hingga saringan masuk yang menyebabkan hanya orang kaya yang
tidak peduli dengan politik.
Akibat dari hal tersebut, representasi keberagaman kesadaran
politik masyarakat ke dunia publik pun menjadi minim. Demokrasi yang terjadi di
Indonesia kini, akhirnya hanya bisa dilihat sebagai demokrasi elitis, dimana
kekuasaan terletak pada sirkulasi para elit. Rakyat hanya sebagai pendukung,
untuk memilih siapa dari kelompok elit yang sebaiknya memerintah masyarakat.
Memilih Demokrasi untuk Indonesia? Pertanyaan yang muncul
dari kemudian adalah,”Lantas, jika reformasi 1998 juga belum dapat menentukan
bagaimana model demokrasi yang cocok bagi Indonesia, apakah demokrasi memang
tidak cocok bagi Indonesia?”. Menanggapi pertanyaan diatas, penulis perlu
menekankan untuk memisahkan antara demokrasi sebagai sistem politik dengan
demokrasi sebagai sebuah nilai. Demokrasi adalah sebuah nilai yang memberikan
kebebasan dan partisipasi masyarakat. Dengan demokrasi, para warga negara dapat
dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Idealismenya, setiap individu
berhak menentukan segala hal yang dapat mempengaruhi kehidupannya, baik dalam
kehidupan personal maupun sosial. Selain itu, demokrasi juga adalah cara yang
efektif untuk mengontrol kekuasaan agar tidak menghasilkan penyalahgunaan
wewenang.
Masa transisi di Indonesia yang masih belum menunjukan
kehidupan demokrasi yang baik lebih dikarenakan negara hukum yang menjadi
landasan Indonesia belum dapat mengkonsolidasikan demokrasi. Persyaratan untuk
menuju konsolidasi demokrasi akhirnya memang sangat bertumpu pada proses
reformasi hukum. Hukum harus diciptakan untuk memberikan jaminan berkembangnya
masyarakat sipil dan masyarakat politik yang otonom, masyarakat ekonomi yang
terlembagakan, dan birokrasi yang mampu menopang pemerintahan yang demokratis.
Hukum harus dikembangkan untuk memperkuat masyarakat sipil (civil society) agar
mampu menghasilkan alternatif-alternatif politik dan mampu mengontrol dan
memantau pemerintah dan negara ketika menjalankan kekuasaannya.
PENDIDIKAN DEMOKRASI
Sejatinya,
lembaga-lembaga politik menjadi “sekolah” bagi masyarakat demi memahami hakikat
dan logika demokrasi. Tragisnya, harapan ini masih menggelantung kaku di langit
impian.
RUANG publik
merupakan ranah yang mampu mencetuskan pembelajaran kepada siapa pun agar
bertakzim pada kebajikan. Jika seseorang masuk ke dalam keramaian dan
hiruk-pikuk supermarket, misalnya, maka serta-merta supermarket itu berfungsi
sebagai ranah (domain) pembelajaran. Setiap orang yang masuk ke dalam ranah
supermarket otomatis terkondisikan oleh sebuah situasi agar beradaptasi dengan
segenap realitas dan kelaziman yang tercipta di dalamnya. Seorang individu lalu
mustahil bertindak seenaknya sendiri dalam sebuah supermarket, seperti
berteriak sesuka hati. Analogi semacam ini berlaku pula terhadap proses
pendidikan demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat.
Kelembagaan parlemen, contohnya,
sudah sejak lama—bahkan ratusan tahun lamanya—diakui berfungsi sebagai ranah
bagi masyarakat luas untuk belajar akan hakikat dan logika demokrasi. Tingkah
laku para politikus di gedung parlemen, dengan sendirinya membersitkan
pembelajaran bagi masyarakat luas. Kepada para politikus di parlemen itulah,
masyarakat belajar bagaimana demokrasi dijalankan. Melalui siaran langsung
televisi, masyarakat memiliki akses secara virtual untuk menyimak seluruh sepak
terjang kaum politikus di parlemen. Pada titik inilah, masyarakat terdorong
memahami secara saksama: bagaimana demokrasi yang dipraktikkan di gedung
parlemen sungguh-sungguh berkedudukan sebagai pedagogi dan pembelajaran
demokrasi. Sangat bisa demengerti kemudian, mengapa para politikus yang
berkarya di gedung-gedung parlemen, sekonyomg-konyong disebut “anggota Dewan
yang terhormat”.
Tetapi tragisnya di Indonesia, para
politikus di parlemen gagal mencetuskan pendidikan demokrasi. Publik belum
menemukan fakta dan kenyataan tentang parlemen yang benar-benar mumpuni
menggulirkan pedagogi demokrasi. Dalam derajat tertentu, parlemen justru
mempertontonkan praktik demokrasi yang sulit dibedakan dengan premanisme. Ingin
tahu buktinya, perhatikan kegaduhan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Senayan, Jakarta, pada Selasa (2 Maret 2010). Alih-alih memberikan pembelajaran
akan hakikat dan logika demokrasi, apa yang terjadi pada saat itu justru
kegaduhan. Sebuah peristiwa yang hampir setali tiga uang dengan premanisme.
Apa yang sesungguhnya terjadi,
kericuhan Rapat Paripurna DPR, dengan agenda pembacaan hasil penyelidikan
Panitia Khusus (Pansus) DPR tentang Hak Angket Bank Century. Dalam Rapat
Paripurna ini, Anggota DPR memprotes Ketua DPR Marzuki Alie. Itu karena, Ketua
DPR memaksakan kehendak menunda pengambilan keputusan Rapat Paripurna terhadap
kesimpulan dan rekomendasi akhir Pansus. Marzuki Alie lalu menutup Rapat Paripurna,
tanpa mengindahkan aspirasi anggota DPR. Maka, kericuhan pun merebak di depan
meja persidangan pimpinan DPR. Mendadak sontak, siaran langsung stasiun-stasiun
televisi disesaki oleh kericuhan di gedung parlemen.
Tak lama
setelah kericuhan itu mencuat ke permukaan, jejaring sosial Facebook dibanjiri
komentar-komentar kritis masyarakat. Marzuki Alie dan anggota DPR yang terlibat
kericuhan, dikecam publik sebagai politikus kelas Taman Kanak-Kanak. Dengan
redaksional dan pengucapan yang beraneka ragam, para facebookers menengarai DPR
stagnan sebagai “sarang penyamun” serta terpilin menjadi institusi yang
dipenuhi preman. Maka, sore dan malam hari 2 Maret 2010 ditandai oleh munculnya
padangan publik untuk bertakzim pada kesimpulan tunggal. Bahwa, parlemen di
Indonesia belumlah digdaya menjalankan tugas mulia menjadi “sekolah” demokrasi
bagi rakyat luas.
Esok harinya,
kericuhan di parlemen menghiasai headline dan editorial surat-surat kabar
nasional. Substansi pokok yang diusung headline dan editorial itu ialah
kegagalan parlemen mencetuskan pendidikan, pembelajaran dan kebajikan demokrasi.